Faktor yang Mempengaruhi Nilai Tukar Mata Uang

Nilai tukar mata uang suatu negara senantiasa berubah-ubah dari waktu ke waktu. Barangkali Anda pun pernah mendengar bagaimana nilai tukar Rupiah menguat terhadap Dolar AS kemarin, tapi melemah lagi tadi pagi, lalu berubah lagi esok hari. Hal ini dapat dipahami karena nilai tukar mata uang yang dibiarkan mengambang (floating exchange rate) bersifat relatif terhadap mata uang lainnya. Namun pertanyaannya, faktor apa sajakah yang mempengaruhi nilai tukar mata uang?

Secara umum, ada tujuh faktor yang mempengaruhi nilai tukar mata uang. Ketujuh faktor tersebut adalah GDP, inflasi, tingkat suku bunga, neraca transaksi berjalan, neraca perdagangan, utang negara, serta stabilitas politik dan hankam. Berikut ini ulasan selengkapnya.

  • Gross Domestic Product (GDP) atau Produk Domestik Bruto (PDB)

GDP atau PDB merupakan total nilai barang dan jasa yang dihasilkan suatu negara dalam suatu periode tertentu. Dalam pemantauan GDP, biasanya kita bukan hanya menilik nominalnya, melainkan juga pertumbuhan atau lajunya. Apabila pertumbuhan GDP tinggi dan terus meningkat, maka dapat diasumsikan jika perekonomian dalam kondisi prima. Sebaliknya, jika pertumbuhan GDP menurun atau bahkan negatif, maka itu bisa berarti bahwa perekonomian mengalami krisis atau resesi.

Sejalan dengan pemahaman itu, pertumbuhan GDP yang tinggi akan mendukung penguatan nilai tukar mata uang. Sebaliknya, pertumbuhan GDP rendah umumnya bisa mengakibatkan pelemahan nilai tukar mata uang suatu negara. Negara-negara dengan total GDP tinggi akan memiliki nilai tukar lebih kuat ketimbang negara-negara dengan total GDP lebih rendah.

Nilai tukar mata uang

  • Tingkat Inflasi

Inflasi adalah kondisi kenaikan harga-harga barang dan jasa secara terus menerus dalam suatu periode tertentu. Dalam jangka panjang, kenaikan harga-harga akan menggerogoti daya beli suatu mata uang hingga nilai tukarnya mengalami depresiasi. Oleh karenanya, nilai tukar mata uang negara-negara berinflasi rendah seperti Swiss dan Jepang menjadi lebih kuat daripada negara-negara berinflasi tinggi seperti Indonesia dan Malaysia.

Meski demikian, pertumbuhan inflasi secara terkendali antara 2-4 persen dianggap sebagai suatu prasyarat pertumbuhan ekonomi di negara berkembang. Apabila inflasi jatuh ke bawah 2 persen atau bahkan negatif (terjadi deflasi), maka pemerintah harus mulai waspada akan terjadinya resesi. Sebaliknya, jika inflasi melejit hingga melampaui kisaran tersebut, maka bisa jadi ada ketidakberesan dalam perekonomian yang bisa mengakibatkan nilai tukar mata uang anjlok drastis dalam waktu singkat sebagaimana terjadi pada Zimbabwe, Turki, dan Venezuela.

  • Tingkat Suku Bunga

Tingkat suku bunga mewakili prospek imbal hasil investasi di suatu negara. Apabila suku bunga suatu negara meningkat, maka investor asing bisa lebih tertarik untuk menanamkan dananya di negara tersebut. Peningkatan minat investasi tersebut kemudian akan mendorong kenaikan permintaan atas mata uangnya, yang berimbas pada penguatan nilai tukar.

Sebaliknya, jika suku bunga suatu negara diturunkan, maka investor asing bisa menjadi tak tertarik untuk menanamkan dananya di negara tersebut. Bahkan, investor dalam negeri pun malah bisa cenderung membawa hartanya ke luar wilayah karena menginginkan imbal hasil investasi lebih tinggi. Penurunan minat investasi tersebut kemudian dapat mengakibatkan penurunan permintaan atas mata uangnya, yang berefek pada pelemahan nilai tukar.

  • Neraca Perdagangan (Trade Balance)

Neraca perdagangan adalah selisih antara ekspor dan impor suatu negara. Apabila ekspor lebih tinggi, maka neraca perdagangan akan surplus. Sedangkan jika impor lebih besar, maka neraca perdagangan akan defisit.

Secara teoritis, jika suatu negara harus membayar uang lebih banyak ke negara lain (neraca dagang defisit), maka nilai tukar mata uangnya akan melemah. Sebaliknya, bilamana negara lain harus membayar lebih banyak uang ke negara itu (neraca dagang surplus), maka nilai tukarnya bakal menguat karena permintaan atas mata uangnya meningkat.

Jika Anda perhatikan, ini juga merupakan salah satu faktor yang menyebabkan Dolar AS diakui sebagai salah satu mata uang terkuat di dunia. Mata uang Dolar AS digunakan sebagai alat pembayaran dalam mayoritas transaksi internasional, bahkan dalam perdagangan yang tidak dilakukan oleh Amerika Serikat. Untuk itu pula, banyak negara menyimpan Dolar AS sebagai cadangan devisa. Efeknya, permintaan atas Dolar AS selalu tinggi, sehingga nilai tukarnya lebih mudah menguat terhadap mata uang-mata uang lemah seperti rupiah, ringgit, dan kawan-kawan.

mata uang terkuat di dunia

  • Neraca Transaksi Berjalan (Current Account)

Neraca transaksi berjalan terdiri atas neraca dagang dan beberapa variable lainnya yang mewakili arus dana masuk dan keluar dari suatu negara dalam suatu periode tertentu. Apabila lebih banyak dana masuk, maka neraca ini akan surplus. Kebalikannya, jika lebih banyak dana keluar, maka neraca ini akan defisit.

Bagi negara-negara tertentu yang memiliki kepentingan investasi luar negeri sangat tinggi, maka bisa terjadi neraca dagang defisit, tetapi neraca transaksi berjalan malah surplus. Apabila hal itu terjadi, maka nilai tukar mata uang akan tetap kuat. Sebaliknya, jika neraca dagang surplus, tetapi neraca transaksi berjalan justru defisit; maka nilai tukar mata uang bakal melemah. Hal ini karena tinggi-rendahnya permintaan atas suatu mata uang itu sendiri lebih bergantung pada neraca transaksi berjalan, daripada neraca perdagangan.

  • Utang Negara (Public Debt)

Jaman sekarang, utang negara merupakan suatu hal yang lazim. Mayoritas pemerintah di dunia menjalankan anggaran belanja defisit, yang artinya pengeluaran negara lebih besar daripada pendapatannya. Kekurangan anggaran tersebut akan ditutup oleh pemerintah dengan menerbitkan surat utang (obligasi), menerima hibah (bantuan pembangunan), atau upaya penggalangan dana lainnya. Hal ini merupakan sesuatu yang wajar…hingga suatu level tertentu.

Utang negara yang terlalu besar akan menjadi beban perekonomian dan bisa mengakibatkan depresiasi nilai tukar mata uang. Terutama jika negara tak memiliki kemampuan untuk mengembalikan utang tersebut hingga terjadi gagal bayar (default), maka nilai tukar mata uangnya akan hancur. Bahkan, bukan tidak mungkin jika mata uangnya tak akan diterima lagi oleh negara lain dan masyarakatnya sendiri.

nilai tukar mata uang

  • Stabilitas Politik, Pertahanan, dan Keamanan

Dibandingkan kondisi-kondisi ekonomi yang dipaparkan di atas, stabilitas politik dan hankam bukan merupakan penggerak utama nilai tukar mata uang. Dalam kondisi normal, aspek ini justru takkan mempengaruhi nilai tukar mata uang sama sekali. Meski demikian, gonjang-ganjing politik dan hankam yang bersifat ekstrim dapat mempengaruhi nilai tukar secara signifikan dalam waktu cepat. Misalnya pada saat-saat pemilu atau pergantian kekuasaan, kudeta, pemberontakan bersenjata, bom teror berskala besar, peperangan atau invasi negara lain, serta demonstrasi jalanan yang berlangsung dalam waktu lama.

Sebagaimana telah diungkapkan sebelumnya, nilai tukar akan menguat jika permintaan atas suatu mata uang itu meningkat. Dalam kondisi instabilitas politik dan hankam di suatu negara, investor maupun masyarakat umum akan enggan memegang mata uang negara tersebut. Mereka akan cenderung memilih mata uang negara lain yang dianggap lebih stabil, atau justru membeli emas dan logam berharga lainnya sebagai upaya untuk melindungi kekayaannya. Aksi jual atas mata uaang itu pada akhirnya bisa mengakibatkan nilai tukar merosot.

Leave a Comment